PUPUK ORGANIC "Petani VS PABRIK" Siapa Juara...?
Petani telah menyadari akan menurunnya hasil pertanian mereka semakin hari semakin menurun, hal ini menurut para ahli disebabkan karena semakin rusaknya kondisi tanah pertanian akibat dari penggunaan pupuk dan pestisida kimia yang berlebih, kita juga bersama menyadari akhir-akhir ini terjadi ketidak seimbangan lingkungan hidup di sekeliling kita, nah dari sekelumit permasalahan petani, maka pemerintah dari tingkat pusat sampai dengan daerah menggalakkan program pertanian organik.
Dalam rangka mewujudkan program tersebut, maka telah diambil berbagai jalan melalui program-program strategis baik pusat maupun daerah, diantaranya : Program Pertanian Terintegrasi yang di Bali di beri nama SIMANTRI, Program SMD, Program Penyelamatan Sapi Betina Produktif, Program UPPO, hingga program penycabutan subsidi pupuk kimia, dan beralih ke subsidi pupuk organik. Dari sederet program tersebut diatas yang menjadi salah satu tujuan pemerintah yakni petani diharapkan mau dan mampu memproduksi pupuk organik dari limbah ternak dan limbah pertanian yang ada, dalam rangka mewujudkan kemandirian petani itu sendiri.Kebijakan pemerintah ini perlu kita berikan pernghargaan dan apresiasi positif dengan medukung pelaksanaan program ini hingga sukses, terutama sekali kepada GAPOKTAN dan Kelompok-kelompok Tani Ternak (POKTAN) yang sudah di berikan kepercayaan melaksanakan program pemerintah ini, salah satu pelaksana program GO BALI ORGANIK dan GO BALI GREEN PROVINCE adalah POKTAN/GAPOKTAN penerima BANSOS SIMANTRI baik dari tahun 2009 hingga tahun 2011 ini.
Akhir-akhir ini dengan santernya kami dengar mengenai pemberitaan Pencabutan subsidi pupuk UNORGANIC dan dialihkan ke subsidi Pupuk ORGANIC, dari hati yang paling dalam kami selaku petani yang sekaligus peternak yang kebetulan memproduksi Pupuk ORGANIC merasa senang sekali, Artinya secara Bisnis PUPUK KAMI LAKU...!, kemudian hari demi hari, bulan demi bulan kita lalui akhirnya Petani di subak mendapatkan bantuan Pupuk Organic dari pemerintah, tidak lain pupuk tersebut hasil produksi PABRIK.
Pupuk Organic produksi PABRIK ini dengan kemasan indah dipandang mata, Tidak Seperti Kemasan KAMI yang belum di SABLON dan ada logo kelompok kami serta kandungan unsur hara baik mikro maupun makro, dari sisi bentuknyapun butiran/GRANUL seperti pupuk UNORGANIC yang diminati petani, beda jauh dengan bentuk pupuk kami yang berbentuk serbuk/POWDER, dari Sisi Harga KATANYA....! Harga Pupuk ini dihargai sama pemerintah Rp.1500 per Kg. Pemerintah memberikan subsidi melalui PABRIK PUPUK sebesar Rp. 1000,- sehingga petani membelinya dengan harga wajarnya Rp.500/kg, Sedangkan PUPUK ORANIK PRODUKSI PETANI, Kami Jual dengan HARGA Rp. 1000,- per KG, Jika dibandingkan Bagi Petani Pemakai PUPUK akan Memilih PUPUK PABRIK BERSUBSIDI KARENA CUKUP MEMBAYAR Rp.500,-. Dengan jiwa dan semangat positif menanggapi bantuan ini, walaupun ada sedikit kekecewaan, kedepan kami yakin KEBIJAKAN INI AKAN BERPIHAK PADA KAMI.
Hari dan bulan terus berganti, kami berharap kedepan PEMERINTAH MAU memperhatikan KAMI mulai dari PENGUJIAN KANDUNGAN HARA, Bantuan MESIN GRANUL, Hingga PELATIHAN PASCA PRODUKSI yang membahas BRAND, Bentuk KEMASAN Hingga Kebijakan Yang LEBIH BERPIHAK PADA KAMI yakni PEMERINTAH MAU MEMBELI PUPUK PETANI Selayaknya PUPUK PABRIK.
Yang terjadi Hingga Musim Pemupukan Kembali Tiba, harapan kami diatas belum JUA TIBA, hingga kembali lagi PUPUK PABRIK menang....!, inipun terus berulang setiap saat Hingga Kapan ini BERAKHIR kami rakyat kecil belum TAU JAWABNYA...? Jika hal ini terus berlanjut, maka PETANI-TERNAK yang mau mengusahakan pupuk ORGANIK SEBAGAI PELUANG akan menjadi MALANG sebab PUPUK DI PRODUKSI Dalam JUMLAH BESAR tidak AKAN LAKU dengan HARGA Rp.1000,-/Kg dibanding Rp. 500,-/Kg, KEMASAN YANG TIDAK BERSAING dibanding PABRIK, KANDUNGAN HARA Yang BELUM JELAS dibandingkan PABRIK. AKHIRNYA PETANI KALAH TELAK Dibandingkan PENGUSAHA.
Melalui Tulisan INI KAMI TIDAK BERMAKSUD MENOHOK/MENYODOK SIAPAPUN, agar jangan sampai kami petani kecil disidangkan atas TULISAN keluh kesah kami di media BLOG ini SEPERTI IBU PRITA MULYASARI. Jika ada yang Tersinggung Kami Mohon Maaf, tapi INILAH KENYATAANNYA...!, Jika Maaf Kami Tidak Diterima Mohon jangan Sidangkan KAMI, Lebih Baik Saling GOROK.
Mengingat Akhir akhir ini, sedang TRENDnya Istilah NEOLIB, maka Melalui Kesempatan ini kami kutip sebuah cerita Tentang KEBIJAKAN NEOLIB berikut :
punya pandangan salah tentang Amrik, penduduknya tinggal di kota-kota besar daan udah pasti orang kaya. ada dua golongan di Amrik yang tidak ikut menikmati manfaat "kemakmuran" tahun 1920-an yaitu PARA PETANI dan 12 juta penduduk kulit hitam. KENAPA PARA PETANI TIDAK KEBAGIAN DUREN LIBERALISME.............?
Dalam rangka memantapkan kebijakan Neo-Liberalisme, para pendukungnya secara gencar mengkampanyekan mitos – mitos yang berkaitan dengan Neo-Liberalisme dan pasar bebas sebagaimana dijelaskan oleh Mansour Fakih(2003), bahwa mitos-mitos itu antara lain adalah :
PERTAMA : Perdagangan bebas akan menjamin ketersediaan pangan murah dan kelaparan tidak akan terjadi.Kenyataan yang terjadi bahwa perdagangan bebas justru telah meningkatkan harga pangan.
KEDUA : Bahwa WTO dan TNC akan memproduksi pangan yang aman, kenyataanya dengan penggunaan pestisida secara berlebihan dan pangan hasil dari hasil rekayasa genetika justru membahayakan kesehatan manusia dan keseimbangan ekologi.
KETIGA : Kaum perempuan dan petani akan diuntungkan dengan berlakunya pasar bebas. Kenyataannya perempuan dan petani semakin tersingkir baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen.
KEEMPAT : Bahwa pemberlakukan paten dan hak kekayaan intelektual akan melindungi inovasi dan pengetahuan. Kenyataanya paten justru memperlambat alih teknologi dan membuat teknologi menjadi mahal
KELIMA : Perdagangan bebas di bidang pangan akan menguntungkan konsumen karena harga murah dan banyak pilihan. Kenyataannya justru hal itu mengancam pangan di negara – negara dunia ketiga.
Dalam sidang WTO di Cancun (Meksiko), 9 September 2003, seorang petani dari Korea Selatan, Lee Kyung Hae, melakukan aksi bunuh diri di depan gedung tempat berlangsungnya sidang. Saat itu dia menggunakan pakaian bertuliskan “WTO Membunuh Para Petani”. Lee adalah seorang petani padi yang memiliki lahan luas di Korsel, namun kemudian bangkrut karena negaranya dibanjiri oleh beras impor yang harganya jauh lebih murah. Lee memperjuangkan nasib petani di negaranya dengan berbagai cara, namun gagal. Sejak Korsel mematuhi aturan liberalisasi perdagangan, jumlah petani di negara itu telah berkurang setengahnya (dari sekitar 6 juta menjadi sekitar 3 juta petani). Padahal, Korsel adalah negara agraris, persis Indonesia. Perjuangan Lee berakhir dengan aksi bunuh diri di Cancun.[1]
Di India, pada tanggal 3 September 2009 lebih dari 50 ribu petani dari berbagai penjuru India berkumpul di New Delhi dengan membawa poster bertuliskan “WTO keluar dari pertanian”. Mereka memrotes Pemerintah India yang tidak melindungi petani lokal. Karena terikat perjanjian WTO, India hanya bisa melindungi 5 persen dari produk pertaniannya dari pemotongan tarif. Akibatnya, produk lokal India kalah bersaing dari produk pangan bersubsidi dari AS dan Uni Eropa.
Selain itu, WTO juga membuka peluang bagi perusahaan transnasional untuk membuka lahan pertanian di India. Industrialisasi pertanian, penggunaan bahan kimia, dan penghancuran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan agribisnis yang dimiliki AS sangat merugikan petani India. Jutaan petani India kehilangan mata pencaharian dan menjadi semakin miskin.[2] Sejak tahun 1995 hingga kini, tercatat lebih dari 36 ribu petani di India melakukan bunuh diri karena tak sanggup lagi menahan kemiskinan.
Sementara itu, di Indonesia, dampak WTO sudah sangat terasa. Indonesia sejak tahun 1994 telah menjadi anggota WTO dan diratifikasi dengan UU no. 7 tahun 1994. Namun, meskipun WTO mengklaim bahwa tujuan organisasi ini adalah “to improve the welfare of the peoples of the member countries” [3] kenyataannya, 15 tahun setelah begabung dengan WTO, Indonesia semakin lama justru semakin bergantung pada produk pangan impor. Negeri yang subur serta memiliki curah hujan tinggi dan banyak sumber daya manusia ini, setiap tahunnya harus menganggarkan dana sebesar 50 trilyun rupiah untuk mengimpor kedelai, gandum, daging sapi, susu, gula, bahkan garam. Nilai impor garam Indonesia per tahunnya mencapai 900 milyar rupiah.[4] Metro News (30/6/09) memberitakan bahwa sebagian besar pelaku bunuh diri di Bali adalah petani.[5]
Saat ini, sekelompok kecil orang ternyata lebih kaya dari seluruh orang di benua Afrika. Hanya dengan memiliki 200 perusahaan, ¼ perekonomian dunia sudah dapat dikuasai para pemodal. General Motors memiliki kekayaan yang lebih besar dari Denmark, Ford lebih kaya daripada Afrika Selatan. Perusahaan-perusahaan kaya itu dipuji karena menanamkan investasi di negara-negara berkembang. Padahal yang terjadi, semua produk bermerek dibuat di negara-negara miskin dengan upah buruh yang sangat rendah, nyaris seperti budak. Seperti dikatakan John Pilger, “Yang miskin semakin miskin sementara yang kaya semakin kaya luar biasa.”[6]
Dalam rangka mewujudkan program tersebut, maka telah diambil berbagai jalan melalui program-program strategis baik pusat maupun daerah, diantaranya : Program Pertanian Terintegrasi yang di Bali di beri nama SIMANTRI, Program SMD, Program Penyelamatan Sapi Betina Produktif, Program UPPO, hingga program penycabutan subsidi pupuk kimia, dan beralih ke subsidi pupuk organik. Dari sederet program tersebut diatas yang menjadi salah satu tujuan pemerintah yakni petani diharapkan mau dan mampu memproduksi pupuk organik dari limbah ternak dan limbah pertanian yang ada, dalam rangka mewujudkan kemandirian petani itu sendiri.Kebijakan pemerintah ini perlu kita berikan pernghargaan dan apresiasi positif dengan medukung pelaksanaan program ini hingga sukses, terutama sekali kepada GAPOKTAN dan Kelompok-kelompok Tani Ternak (POKTAN) yang sudah di berikan kepercayaan melaksanakan program pemerintah ini, salah satu pelaksana program GO BALI ORGANIK dan GO BALI GREEN PROVINCE adalah POKTAN/GAPOKTAN penerima BANSOS SIMANTRI baik dari tahun 2009 hingga tahun 2011 ini.
Akhir-akhir ini dengan santernya kami dengar mengenai pemberitaan Pencabutan subsidi pupuk UNORGANIC dan dialihkan ke subsidi Pupuk ORGANIC, dari hati yang paling dalam kami selaku petani yang sekaligus peternak yang kebetulan memproduksi Pupuk ORGANIC merasa senang sekali, Artinya secara Bisnis PUPUK KAMI LAKU...!, kemudian hari demi hari, bulan demi bulan kita lalui akhirnya Petani di subak mendapatkan bantuan Pupuk Organic dari pemerintah, tidak lain pupuk tersebut hasil produksi PABRIK.
Pupuk Organic produksi PABRIK ini dengan kemasan indah dipandang mata, Tidak Seperti Kemasan KAMI yang belum di SABLON dan ada logo kelompok kami serta kandungan unsur hara baik mikro maupun makro, dari sisi bentuknyapun butiran/GRANUL seperti pupuk UNORGANIC yang diminati petani, beda jauh dengan bentuk pupuk kami yang berbentuk serbuk/POWDER, dari Sisi Harga KATANYA....! Harga Pupuk ini dihargai sama pemerintah Rp.1500 per Kg. Pemerintah memberikan subsidi melalui PABRIK PUPUK sebesar Rp. 1000,- sehingga petani membelinya dengan harga wajarnya Rp.500/kg, Sedangkan PUPUK ORANIK PRODUKSI PETANI, Kami Jual dengan HARGA Rp. 1000,- per KG, Jika dibandingkan Bagi Petani Pemakai PUPUK akan Memilih PUPUK PABRIK BERSUBSIDI KARENA CUKUP MEMBAYAR Rp.500,-. Dengan jiwa dan semangat positif menanggapi bantuan ini, walaupun ada sedikit kekecewaan, kedepan kami yakin KEBIJAKAN INI AKAN BERPIHAK PADA KAMI.
Hari dan bulan terus berganti, kami berharap kedepan PEMERINTAH MAU memperhatikan KAMI mulai dari PENGUJIAN KANDUNGAN HARA, Bantuan MESIN GRANUL, Hingga PELATIHAN PASCA PRODUKSI yang membahas BRAND, Bentuk KEMASAN Hingga Kebijakan Yang LEBIH BERPIHAK PADA KAMI yakni PEMERINTAH MAU MEMBELI PUPUK PETANI Selayaknya PUPUK PABRIK.
Yang terjadi Hingga Musim Pemupukan Kembali Tiba, harapan kami diatas belum JUA TIBA, hingga kembali lagi PUPUK PABRIK menang....!, inipun terus berulang setiap saat Hingga Kapan ini BERAKHIR kami rakyat kecil belum TAU JAWABNYA...? Jika hal ini terus berlanjut, maka PETANI-TERNAK yang mau mengusahakan pupuk ORGANIK SEBAGAI PELUANG akan menjadi MALANG sebab PUPUK DI PRODUKSI Dalam JUMLAH BESAR tidak AKAN LAKU dengan HARGA Rp.1000,-/Kg dibanding Rp. 500,-/Kg, KEMASAN YANG TIDAK BERSAING dibanding PABRIK, KANDUNGAN HARA Yang BELUM JELAS dibandingkan PABRIK. AKHIRNYA PETANI KALAH TELAK Dibandingkan PENGUSAHA.
Melalui Tulisan INI KAMI TIDAK BERMAKSUD MENOHOK/MENYODOK SIAPAPUN, agar jangan sampai kami petani kecil disidangkan atas TULISAN keluh kesah kami di media BLOG ini SEPERTI IBU PRITA MULYASARI. Jika ada yang Tersinggung Kami Mohon Maaf, tapi INILAH KENYATAANNYA...!, Jika Maaf Kami Tidak Diterima Mohon jangan Sidangkan KAMI, Lebih Baik Saling GOROK.
Mengingat Akhir akhir ini, sedang TRENDnya Istilah NEOLIB, maka Melalui Kesempatan ini kami kutip sebuah cerita Tentang KEBIJAKAN NEOLIB berikut :
punya pandangan salah tentang Amrik, penduduknya tinggal di kota-kota besar daan udah pasti orang kaya. ada dua golongan di Amrik yang tidak ikut menikmati manfaat "kemakmuran" tahun 1920-an yaitu PARA PETANI dan 12 juta penduduk kulit hitam. KENAPA PARA PETANI TIDAK KEBAGIAN DUREN LIBERALISME.............?
Dalam rangka memantapkan kebijakan Neo-Liberalisme, para pendukungnya secara gencar mengkampanyekan mitos – mitos yang berkaitan dengan Neo-Liberalisme dan pasar bebas sebagaimana dijelaskan oleh Mansour Fakih(2003), bahwa mitos-mitos itu antara lain adalah :
PERTAMA : Perdagangan bebas akan menjamin ketersediaan pangan murah dan kelaparan tidak akan terjadi.Kenyataan yang terjadi bahwa perdagangan bebas justru telah meningkatkan harga pangan.
KEDUA : Bahwa WTO dan TNC akan memproduksi pangan yang aman, kenyataanya dengan penggunaan pestisida secara berlebihan dan pangan hasil dari hasil rekayasa genetika justru membahayakan kesehatan manusia dan keseimbangan ekologi.
KETIGA : Kaum perempuan dan petani akan diuntungkan dengan berlakunya pasar bebas. Kenyataannya perempuan dan petani semakin tersingkir baik sebagai produsen maupun sebagai konsumen.
KEEMPAT : Bahwa pemberlakukan paten dan hak kekayaan intelektual akan melindungi inovasi dan pengetahuan. Kenyataanya paten justru memperlambat alih teknologi dan membuat teknologi menjadi mahal
KELIMA : Perdagangan bebas di bidang pangan akan menguntungkan konsumen karena harga murah dan banyak pilihan. Kenyataannya justru hal itu mengancam pangan di negara – negara dunia ketiga.
Dalam sidang WTO di Cancun (Meksiko), 9 September 2003, seorang petani dari Korea Selatan, Lee Kyung Hae, melakukan aksi bunuh diri di depan gedung tempat berlangsungnya sidang. Saat itu dia menggunakan pakaian bertuliskan “WTO Membunuh Para Petani”. Lee adalah seorang petani padi yang memiliki lahan luas di Korsel, namun kemudian bangkrut karena negaranya dibanjiri oleh beras impor yang harganya jauh lebih murah. Lee memperjuangkan nasib petani di negaranya dengan berbagai cara, namun gagal. Sejak Korsel mematuhi aturan liberalisasi perdagangan, jumlah petani di negara itu telah berkurang setengahnya (dari sekitar 6 juta menjadi sekitar 3 juta petani). Padahal, Korsel adalah negara agraris, persis Indonesia. Perjuangan Lee berakhir dengan aksi bunuh diri di Cancun.[1]
Di India, pada tanggal 3 September 2009 lebih dari 50 ribu petani dari berbagai penjuru India berkumpul di New Delhi dengan membawa poster bertuliskan “WTO keluar dari pertanian”. Mereka memrotes Pemerintah India yang tidak melindungi petani lokal. Karena terikat perjanjian WTO, India hanya bisa melindungi 5 persen dari produk pertaniannya dari pemotongan tarif. Akibatnya, produk lokal India kalah bersaing dari produk pangan bersubsidi dari AS dan Uni Eropa.
Selain itu, WTO juga membuka peluang bagi perusahaan transnasional untuk membuka lahan pertanian di India. Industrialisasi pertanian, penggunaan bahan kimia, dan penghancuran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan agribisnis yang dimiliki AS sangat merugikan petani India. Jutaan petani India kehilangan mata pencaharian dan menjadi semakin miskin.[2] Sejak tahun 1995 hingga kini, tercatat lebih dari 36 ribu petani di India melakukan bunuh diri karena tak sanggup lagi menahan kemiskinan.
Sementara itu, di Indonesia, dampak WTO sudah sangat terasa. Indonesia sejak tahun 1994 telah menjadi anggota WTO dan diratifikasi dengan UU no. 7 tahun 1994. Namun, meskipun WTO mengklaim bahwa tujuan organisasi ini adalah “to improve the welfare of the peoples of the member countries” [3] kenyataannya, 15 tahun setelah begabung dengan WTO, Indonesia semakin lama justru semakin bergantung pada produk pangan impor. Negeri yang subur serta memiliki curah hujan tinggi dan banyak sumber daya manusia ini, setiap tahunnya harus menganggarkan dana sebesar 50 trilyun rupiah untuk mengimpor kedelai, gandum, daging sapi, susu, gula, bahkan garam. Nilai impor garam Indonesia per tahunnya mencapai 900 milyar rupiah.[4] Metro News (30/6/09) memberitakan bahwa sebagian besar pelaku bunuh diri di Bali adalah petani.[5]
Saat ini, sekelompok kecil orang ternyata lebih kaya dari seluruh orang di benua Afrika. Hanya dengan memiliki 200 perusahaan, ¼ perekonomian dunia sudah dapat dikuasai para pemodal. General Motors memiliki kekayaan yang lebih besar dari Denmark, Ford lebih kaya daripada Afrika Selatan. Perusahaan-perusahaan kaya itu dipuji karena menanamkan investasi di negara-negara berkembang. Padahal yang terjadi, semua produk bermerek dibuat di negara-negara miskin dengan upah buruh yang sangat rendah, nyaris seperti budak. Seperti dikatakan John Pilger, “Yang miskin semakin miskin sementara yang kaya semakin kaya luar biasa.”[6]
No Comment to " PUPUK ORGANIC "Petani VS PABRIK" Siapa Juara...? "