Upacara "Nangluk Merana" Di Bali
Upacara dan upakara dalam bidang pertanian di bali sudah dikenal dari zaman dulu hingga di era kekinian masih tetap lestari, salah satu upacara dan upakara dibidang pertanian di bali diantaranya : "Tumpek Kandang atau tumpek uye" yang jatuh setiap enam bulan sekali yaitu pada setiap Sabtu Umanis wuku Uye, dengan tujuan untuk menghormati dewa siwa dalam manifestasinya sebagai sang rare angon yang merupakan penguasa semua binatang dan "Tumpek Wariga, Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh" yakni upacara yang jatuh setiap 6 bulan sekali pada Sabtu Umanis Wuku Wariga, Tujuan upacara ini yakni memberikan persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Sangkara, Dewa Penguasa Tumbuh-tumbuhan. Masih banyak lagi tradisi di bali yang erat kaitanya dengan dunia pertanian dan salah satunya yakni Upacara Nagluk Merana.
Upacara Nagluk Merana bermaksud untuk menghindari segala mara bahaya atau gangguan yang menyerang lahan pertanian atau perkebunan, apakah itu dirusak oleh burung, dirusak oleh monyet, diserang lebah, diserang hama tikus, hama belalang sangit, ujung janur mati, dan mereng. Inti upacara ini adalah salah satu upaya memohon kepada Tuhan agar keseimbangan alam tetap terjaga. Oleh sebab itu, upacara 'Nangluk Merana', yang menurut sastra kuno adalah dipercaya untuk penanggulangan secara 'niskala' atas hama yang datang menyerang tanaman milik para petani.
Tradisi unik yang telah diwarisi di bali ini perlu kita lestarikan dan tidak hanya berkutat pada tatanan upacara dan upakara saja, namun perlu kita maknai dan di implementasikan dalam konteks kehidupan nyata di era kekinian. Dalam kehidupan kita sekarang ini banyak kita temui berita bencana alam, wabah tikus, ulat bulu, kekeringan, kerusakan hutan dan lain sebagainya, ini semua sebagai pertanda bahwa tatanan ekosistem sekarang ini sudah tidak stabil lagi, padahal bebrapa program telah diluncurkan dalam menyelamatkan dunia ini, namun semua hanya baru pada tatanan wacana, sedikit tindakan nyata.
Kembali kepada materi Upacara nangluk merana di bali, tradisi ini telah lama dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat bali, namun di era kekinian wabah ini semaakin menjadi-jadi hingga hampir setiap hari kita dengar di media baik cetak maupun elektronik. Wabah tikus ini tidak hanya menyerang petani saja, namun seluruh sendi kehidupan masyarakat indonesia kini di hinggapi wabah tikus berdasi ini, mulai dari level paling bawah hingga ke level tertinggi. Tikus tikus ini tiada malu menggerogoti rakyat dengan beberapa dalih penyelamatan nasib rakyat, dengan janji manis di awal kepeminpinannya hingga membuat rakyat terlena dan akhirnya kini terserang juga.Selayaknya Pemberantasan hama, berbagai upaya telah dilakukan mulai dari penyemprotan "racun tikus" di tatanan yudikratif dengan lembaga terhormatnya, namun sayang bebagai permasalahan lain timbul, baik berupa matinya "bekteri penyelamat" yang bermanfaat bagi rakyat seperti tekanan politis terhadap lembaga bersangkutan, ini memang aneh, tapi nyata sekali.
Di bali dalam pemberantasan wabah penyakit melalui upcara nangluk merana, seorang raja, pemuka agama dan para petani itu sendiri terlibat langsung dalam prosesi ini, begitu juga di indonesia ini, dengan lantangnya pemimpin kita berkata sebagai panglima akan menghunus pedang di jajaran terdepan dalam memberantas hama "tikus berdasi" ini, namun sayang antara raja dan penyelenggara negara di era kekinian banyak memiliki perbedaan dari sisi mentalitas dan kecintaan yang ikhlas pada rakyatnya.
Upacara Nagluk Merana bermaksud untuk menghindari segala mara bahaya atau gangguan yang menyerang lahan pertanian atau perkebunan, apakah itu dirusak oleh burung, dirusak oleh monyet, diserang lebah, diserang hama tikus, hama belalang sangit, ujung janur mati, dan mereng. Inti upacara ini adalah salah satu upaya memohon kepada Tuhan agar keseimbangan alam tetap terjaga. Oleh sebab itu, upacara 'Nangluk Merana', yang menurut sastra kuno adalah dipercaya untuk penanggulangan secara 'niskala' atas hama yang datang menyerang tanaman milik para petani.
Tradisi unik yang telah diwarisi di bali ini perlu kita lestarikan dan tidak hanya berkutat pada tatanan upacara dan upakara saja, namun perlu kita maknai dan di implementasikan dalam konteks kehidupan nyata di era kekinian. Dalam kehidupan kita sekarang ini banyak kita temui berita bencana alam, wabah tikus, ulat bulu, kekeringan, kerusakan hutan dan lain sebagainya, ini semua sebagai pertanda bahwa tatanan ekosistem sekarang ini sudah tidak stabil lagi, padahal bebrapa program telah diluncurkan dalam menyelamatkan dunia ini, namun semua hanya baru pada tatanan wacana, sedikit tindakan nyata.
Kembali kepada materi Upacara nangluk merana di bali, tradisi ini telah lama dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat bali, namun di era kekinian wabah ini semaakin menjadi-jadi hingga hampir setiap hari kita dengar di media baik cetak maupun elektronik. Wabah tikus ini tidak hanya menyerang petani saja, namun seluruh sendi kehidupan masyarakat indonesia kini di hinggapi wabah tikus berdasi ini, mulai dari level paling bawah hingga ke level tertinggi. Tikus tikus ini tiada malu menggerogoti rakyat dengan beberapa dalih penyelamatan nasib rakyat, dengan janji manis di awal kepeminpinannya hingga membuat rakyat terlena dan akhirnya kini terserang juga.Selayaknya Pemberantasan hama, berbagai upaya telah dilakukan mulai dari penyemprotan "racun tikus" di tatanan yudikratif dengan lembaga terhormatnya, namun sayang bebagai permasalahan lain timbul, baik berupa matinya "bekteri penyelamat" yang bermanfaat bagi rakyat seperti tekanan politis terhadap lembaga bersangkutan, ini memang aneh, tapi nyata sekali.
Di bali dalam pemberantasan wabah penyakit melalui upcara nangluk merana, seorang raja, pemuka agama dan para petani itu sendiri terlibat langsung dalam prosesi ini, begitu juga di indonesia ini, dengan lantangnya pemimpin kita berkata sebagai panglima akan menghunus pedang di jajaran terdepan dalam memberantas hama "tikus berdasi" ini, namun sayang antara raja dan penyelenggara negara di era kekinian banyak memiliki perbedaan dari sisi mentalitas dan kecintaan yang ikhlas pada rakyatnya.
Wabah "tikus berdasi" bukan hanya wabah biasa, namun wabah yang menyerang mental alias penyakit mental, dan cara penanggulangannya juga mestinya dengan pola Pemberantasan Hama Terpadu (PHT) yang telah lama di kenal oleh petani. Mulai dengan Sikap mental yang baik dari peminpin dan rakyat, Formulasi Pestisida hanyati/payung Hukum yang tegas dan mendidik, hingga Keterlibatan seluruh element Masyarakat dalam mengawasinya.
Ada baiknya kita bersama merenung "Mulat sarira", Menghayati sebuah makna kehidupan ini dengan kebaikan bukan kemunafikan, mari kita belajar dari susastra kuno warisan nenek moyang kita dalam menyelamatkan dunia ini dari wabah dan bencana.
No Comment to " Upacara "Nangluk Merana" Di Bali "